Powered By Blogger

Tuesday, May 1, 2012

Makna Al-Masyriq dan Al-Maghrib


Dalam pandangan sufistik, al-masyriq (timur) dan al-maghrib (barat) ternyata bukan hanya menunjukkan tempat atau wilayah geografis, melainkan juga banyak makna dan pesan.

Termasuk di dalamnya adalah pesan kosmologi, teologi, mitologi, antropologi, sosiologi, dan metodologi. Tidak kurang dari 13 kali kata al-masyriq dan al-maghrib terulang di dalam Alquran.

Ada dalam bentuk mufrad (al-masyriq/al-maghrib) seperti dalam QS Al-Baqarah [2]: 115, bentukmutsanna (al-masyriqain/al-maghribain) seperti dalam QS Al-Rahman [55]: 17, dan ada dalam bentuk jama' (al-masyariq/al-magharib), misalnya, pada QS Al-Ma'arij [70]: 40.
Al-masyriq berasal dari akar kata syaraqa-yasyruq berarti terbit, bersinar, kemudian membentuk kata al-masyriq (timur, sinar yang masuk di celah-celah lubang), al-musytasyriq (orientalis).

Lalu, kata gharaba-yaghrubu berarti pergi menjauh, terbenam, asing, beracun, lalu membentuk kata al-maghrib (barat, tempat/waktu terbenam matahari), al-musytaghrib (oksidentalis).

Dalam kitab-kitab tafsir klasik, kata al-masyriq dan al-maghrib lebih banyak diartikan dengan kata timur dan barat dalam arti geografis, yakni timur dan barat tempat, waktu terbit, serta tenggelamnya matahari, seperti dijelaskan dalam QS Al-baqarah [2]: 115, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya), lagi Maha Mengetahui.''

Kata al-masyriq dan al-maghrib dihubungkan dengan tempat yang menjadi kiblat shalat umat Islam di Madinah, yang tadinya menghadap ke barat, yaitu ke Baitul Maqdis, dan ke timur, yaitu ke Ka'bah, Kota Suci Makkah. Demikian pula ulama-ulama tafsir mu'tabarah lainnya di kalangan Sunni. Dalam pandangan ulama tasawuf, timur dan barat lebih banyak menekankan makna kosmologis dan hermeneutiknya.

Kata al-masyriq (timur) dihubungkan dengan sebuah dunia yang lebih menekankan arti penting nilai-nilai spiritual-psikologis, sedangkan kata al-maghrib (barat) dikaitkan dengan sebuah dunia yang lebih menekankan aspek filsafat dan logika.

Perdebatan dunia Timur dan Barat bukan hanya terjadi pada abad modern, melainkan juga sudah muncul sejak dahulu kala.

LWH Hull, seorang profesor yang amat disegani di AS, dalam karya monumentalnya, History and Philosophy of science: An Introduction, mengungkapkan siklus pergumulan antara agama, filsafat, dan ilmu terjadi setiap enam abad.

Pergumulan itu dikaitkan dengan hubungan dialektis antara Timur dan Barat. Ia memulai penelitiannya dengan mengkaji enam abad sebelum Masehi.

Periode ini ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh filsafat Yunani di Barat yang amat tersohor sampai saat ini, seperti Tales (ahli filsafat, astronomi, dan geometrika), Pythagoras (geometrika dan aritmatika), Aristoteles (ahli filsafat, ahli ilmu empiris, lebih dikenal sebagai pendiri Mazhab Alexandria, yang lebih menekankan pendekatan induktif), Plato (ahli filsafat, ahli ilmu-ilmu rasional, lebih dikenal dengan pendiri Mazhab Atena, yang lebih menekankan pendekatan deduktif).

Pada periode ini, para filsuf menenggelamkan peran dan popularitas pemimpin politik dan pemimpin agama, yang umumnya lahir dan berkembang di Timur. Perlu diingat bahwa semua agama besar, seperti Hindu, Buddha, Konghucu, Tao, Yahudi, Nasrani, dan Islam lahir di Timur.

Tidak ada agama besar yang lahir di Barat. Katolik dan Protestan yang besar di Barat itu baru belakangan. Kristen berkembang di Barat setelah 600 tahun Nabi Isa (Yesus Kristus) wafat.

Periode kedua, ditandai dengan lahirnya Nabi Isa (1 M) sampai lahirnya Nabi Muhammad (6 M) di Palestina (Timur). Periode ini ditandai dengan merosotnya pengaruh dan popularitas para filsuf (di Barat) dan menguatnya peran raja yang sekaligus penguasa gereja. Mereka mengatasnamakan diri sebagai wakil Tuhan di bumi. Otoritas dan penentu kebenaran berada di tangan raja (Romawi). Dalam periode ini, hampir tidak ditemukan tokoh pemikir dan filsafat.

Sebaliknya, tercatat sejumlah raja yang sangat full power. Pada masa ini, orang-orang tidak berani berpikir dan mengkaji ilmu pengetahuan karena bisa saja berarti malapetaka baginya. Terutama, jika teori dan hasil pemikirannya berbeda, apalagi bertentangan dengan pendapat gereja. Tidak sedikit jumlah pemikir dan ilmuwan yang menjadi korban karena mereka mencoba memperkenalkan kebenaran di luar gereja.

Akibatnya, muncullah zaman kegelapan yang tidak ada lagi keberanian untuk melakukan pengkajian dan aktivitas ilmu pengetahuan. Inilah yang kemudian disebut dengan zaman jahiliyah dan sekaligus menjadi background lahirnya agama Islam.

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

No comments:

Post a Comment